Rabu, Januari 27

Reformasi Yasinan dan Otonomi Daerah

Catatan : Yulfian Azrial

BEGITU UU Otonomi Daerah diluncurkan, maka di tahun 2000 silam, seorang HABIB teman saya, datang ke SURAU kami, untuk sharing. Seperti biasanya kami melakukan tamasya spiritual. Kini 10 Tahun berlalu.Laporan tamasya spiritual itu, terasa makin urgens untuk saya bagi pada kita semua. Selamat bertamasya......

****

SURAT Yassin yang termaktub dalam kitabullah Alqur’an, dan telah dikenal oleh umat Islam sejak 15 abad yang lalu, memuat gambaran tatanan kehidupan bernegara dan berbangsa. Namun justru hudalinnas (petunjuk bagi manusia) tersebut terkesampingkan oleh pengetahuan Barbarian yang diagungkan sebagai hal modern, kelahiran Barat.

Penggagas otonomi daerah sendiri, entah sadar entah tidak mengorek teorema ekonomi ala Michael Hammer tentang manajemen, yang mengilhami konsep tatanan bernegara dan berbangsa secara process oriented. Namun bukan tidak mungkin kalau rumusan otonomi daerah tersebut merujuk kepada surat Yassin ayat 38-40.

Dalam ayat tersebut, Allah SWT jelas-jelas memberikan petunjuk, baik melalui ayat Qauliyah maupun ayat Qauniyah. Dalam ayat qauliyah tersebut Allah mengatakan pada Yassin ayat 38-40 : Dan Matahari berputar pada garis edarnya, yang demikian itu telah menjadi ketetapan dari yang Mahaperkasa dan Maha berpengetahuan. Dan bulan kami tetapkan tempat beredarnya, hingga kembali sebagaimana mayang tua (berbentuk bulan sabit). Matahari tidak menyusul bulan, dan malam tidak pula mendahulukan siang, dan seluruh planet beredar pada garis edarnya dengan teratur.

Kalau kita sepakat dengan gambar yang telah dibikin oleh para ahli astronomi, tentu akan kita temui bahwa matahari berada di titik sentral, sedang planet lain berada disekeliling matahari. Planet yang tampak itu, juga menjadi titik tengah bagi bulan atau sejenisnya (satelit-red) yang mengitarinya.

Jika kita menamakan titik tengah itu dengan sebutan pemerintah pusat (M), tentunya titik-titik lain yang ada pada garis elips bisa kita namakan dengan pemerintahan yang berada di seputar pemerintah pusat. Satu sama lain merupakan satu kesatuan koordinasi, dan bukan kesatuan ordinasi, sehingga tidak ada arogansi satu sama lainnya. Terutama sekali arogansi titik tengah atau pemerintah pusat terhadap pemerintah yang berada dalam jalur garis elip tersebut.

Tentu saja malam tidak dapat mendahului siang, dan begitu juga hal sebaliknya. Maka berlakulah hukum ilahiyah yang bernama qadar. Dengan demikian, perbenturan kepentingan antara pemerintah pusat dengan pemerintah di sekitarnya tidak pernah terjadi. Hal itu dapat berlaku jika seluruh tatanan yang ada secara bersama menjaga ketersinggungan bahkan merasa menguasai yang satu dengan yang lainnya untuk tidak memunculkan sikap tersebut.

Penyimpangan atau pengingkaran yang dilakukan oleh tatasurya atau tatanan kepemerintahan yang ada, bisa terjadi karena ketidakpatuhan terhadap hukum ilahiyah.

Jika salah satu dari sekian titik yang berada pada garis elips yang telah ditetapkan keluar, dan bahkan berupaya untuk menghalangi titik atau pemerintahan di sekitarnya, maka perbenturan akan terjadi secara otomatis.

Nah, perbenturan tersebut Allah namakan dalam QS 56 : 3 sebagai qiamat. Dalam ayat tersebut qiamat merupakan perbenturan antara golongan yang merasa mulia dan golongan yang merasa hina. Berarti ada yang dimuliakan dan ada yang dihinakan.

Tentu saja kepentingan golongan yang merasa mulia dengan golongan yang merasa hina berbeda. Jadi, jika salah satu dari tatanan tersebut sudah mulai over acting, tentu saja kecelakaan besar akan terjadi. Contoh, daerah-daerah yang tengah bergejolak akibat adanya keinginan dari salah satu titik yang ada untuk merasa berhak menguasai titik pemerintahan yang lain.

Untuk menghindari terjadinya perbenturan dan terciptanya tatanan yang saling menjaga, maka yang diperlukan adalah kepatuhan untuk mengikuti satu aturan. Aturan dari Sang Maha Penjaga dan Maha Mengatur. Berarti, titik tengah dan titik-titik pemerintahan yang berada dalam satu garis edar tersebut, mau tidak mau, baik secara sukarela maupun terpaksa harus memakai sumber aturan yang satu ; aturan ilahiyah.

Jadi pada dasarnya, yang sebaik-baik tatanan, adalah tatanan ilahiyah. Mengapa kita tidak merujuk langsung kepada tatanan tersebut. Padahal tawaran tersebut terbuka lebar diberikan Allah kepada kita, sebagaimana yang termaktub dalam QS 89 : 27-30 yang artinya : Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Rabmu (yang mengatur kamu) dengan redha, agar mendapat keredhaan-Nya, masuklah kedalam golongan-KU, dan masuklah kedalam surga-KU.

Jelas sekali untuk bisa kembali kepada ketentuan ilahiyah, hal yang pertama dibutuhkan adalah ketenangan jiwa. Kemudian keredhaan (dengan sukarela). Barulah bisa disebut sebagai golongan Allah (kelompok yang berada dalam tatanan garis elip). Terakhir barulah kita diperkenankan masuk ke dalam surga-NYA. (YA-BIB-SURAU)

* Mudah-mudahan laporan tamasya spiritual ini mampu menggugah Anda dan mengundang iktibar dahsyat yang sanggup menggetarkan jiwa.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar