Senin, Januari 25

YANG OMPONG DAN YANG PONTONG

Sebuah Dongeng Terhormat Oleh : Yulfian Azrial


INI bukan cerita dari Kebun Binatang Bukittinggi, ataupun dari Taman Margasatwa Ragunan. Syahdan, menurut si empunya cerita semuanya terjadi di tenpat-tempat yang lebih terhormat lagi. Karena itulah tulisan ini disebut Dongeng Terhormat.

Lalu bagaimana kisah dari dongeng itu. Berikut ini adalah rangkaian ceritanya yang perlu anda simak dengan seksama.

***

Suatu ketika, terjadilah semacam pesta. Yang hadir semuanya mengaum. Jadi jelaslah, bahwa semuanya mengaku sebagai macan. Macan yang suka mengaum dalam sejuta gertak.

Pernahkah Anda melihal macan bersiul? Pemandangan itu dapat kita saksikan dalam acara pesta ini. Jadi, jangan sangka pada pesta itu hanya ada sekadar 'festival auman belaka. Banyak lagi yang aneh-aneh terjadi. Termasuk macan yang bersiul tadi. Itulah siulan yang secara turun temurun dianggap keramat.

Bila siulan itu berlagu, maka hadirin seketika menjadi hening, disertai angguk-angguk dalam rukuk. Padahal tahukah Anda, bahwa yang bersiul itu diam-diam tertawa dalam hatinya. Karena sebenarnya, ia bersiul cuma agar giginya yang ompong tidak diketahui publik.

Ia memang tak bergigi lagi, apalagi bertaring. Dari hasil diagnosa dokter, itu disebabkan terlalu sering beronani. Anda mungkin belum tahu, kalau macan beronani pakai gigi. Nah, itulah salah satu yang terjadi dalam dongeng terhormat ini.

Lalu, tahukah Anda, bahwa semua itu umumnya dilakukan oleh macan yang telah tua-tua? Macan macan tua yang tampaknya masih menuntut agar kemacanannya tetap diakui, di dalam masa menaphouse-nya.

Ada lagi lakonan yang tak kalah kocaknya. Ini masih tentang peserta dalam kategori macan ompong tadi. Tapi yang ini giginya ompong bukan karena sering beronani, tapi giginya itu benar yang belum tumbuh. Apalagi taring. Ia tak punya sama sekali.

Kalau kita ingin mendudukkan di kelas, ia masih dalam kelas bocah macan. Tapi jangan sebut-sebut di dekat dia, karena dia bisa mengamuk, mencak-mencak, atau mencakar-cakar. Padahal, hasil cakarannyapun tak bisa dibanggakan, karena tidak lebih bermutu dibanding cakaran kambing yang banyak terlahir sebagai skripsi dan tesis di perguruan linggi.

Tapi setiap yang arif dan bijak, pasti akan tersenyum melihat ia tetap bersemangat, bahkan meraung-raung dari nagari ke nagari. Bahkan di tengah hadirin yang lebih suka manggut-manggut dan tiduran di ruang sidang.

Tapi semua itu wajar, karena kelas itulah cuma yang mau mengakuinya sebagai macan betulan, bahkan sering mengundangnya. Jadi dapat dibayangkan, betapa tak berartinya gigitan-gigitan mereka. Kasihan!

Tapi adalagi yang khas miliknya 'si bocah macan' yang bisa juga kita lihat dalam pesta ini. Yaitu bocah macan yang masih belum tumbuh ekornya; macan pontong. Sesungguhnya macan ini lebih pantas untuk dikasihani. Apalagi bila ia berada dalam suatu seminar atau diskusi.

Anda tentu paham apa tungsi ekor, yaitu untuk menjaga keseimbangan bila berjalan. Karena tidak punya ekor, tentulah ia akan seruduk sana, seruduk sini dalam kiprah yang tak beralamat.

Bayangkan kalau para macan pontong dan macan ompong ini berkumpul. Pesta gigit-gigitan dan kejar-kejaranpun tak dapat dihindari.

Anda bayangkan, bagaimana macan ompong saling gigit-gigitan, dan macan pontong saling kejar-kejaran? Tentu alangkah mengasyikkan. Sekaligus sangat menyedihkan. Apalagi kalau mereka itu duduk dengan pongahnya di kursi-kursi parlemen dan pemerintahan.

(Skh. Singgalang 1984, Rakyat Mandiri No 004 Th I 28 April 2002)

1 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus