Jumat, Januari 22

Mencangkul di Punggung Petani

Oleh : Yulfian Azrial / Koran Lapau

PERNAH kudengar pantun berbunyi:
“musim hujan/petani bersukaria/
menanam padi, mengharap hasilnya/
untuk anak isteri,”
yang dinyanyikan ketika mereka menyebar benih di sawah
Bersukaria? Tentu saja jika hujan tak menjadi banjir,
para pengijon tidak mondar-mandir,
dan kredit tidak mencekik leher
Tapi kini, nyanyian itu nampaknya tak pernah terdengar lagi
Lenyap entah ke mana. Para petani bekerja dengan
Diam, diam, dan diam.
Adakah yang bisa menjawabnya, mengapa?


Syair di atas adalah sajak seorang teman yang dimuat di sebuah majalah ibukota di Zaman tahun 1983. Lebih dari dua puluh tahun silam. Merisaukan memang kondisi petani kita saat itu.

“Tapi, memang harus ada yang mau berkorban,” ujar seorang teman menanggapi fenomena ini ketika itu. Kenapa? Karena saat itu kita bertekad untuk mencapai swasembada pangan.

Maka petanipun, sejak itu dikorbankanlah nasib petani. Suka-tidak suka mereka harus menyediakan punggung mereka untuk jadi tempat berladang bagi seluruh rakyat Indonesia. Rezeki-rezeki yang seharusnya dinikmati petani, harus dibagi habis sekadar untuk meuwujudkan delapan jalur pemerataan.

Tampaknya punggung petani benar-benar lahan yang sangat subur, bahkan lebih subur dari sawah-sawah dan ladang yang mereka garap. Berbagai pabrik dan teknologi pertanian dikembangkan. Bahkan panen padai yang biasanya hanya satu kali setahun, kini bisa meningkat jadi dua, tiga, bahkan empat kali setahun.

Perekonomian Indonesia yang menjadikan darah serta keringat petani sebagai bahan bakarnya semakin melaju. Sampai akhirnya perjuangan kaum petani itu berhasil. Di tahun 1984, Soeharto yang menjadi presiden waktu itu mencanangkan Indonesia sudah Swasembada Pangan.

Menakjubkan memang. Menecengangkan! Tidak hanya mencengangkan masyarakat Indonesia. Tapi masyarakat seantero duniapun takjub dengan keberhasilan itu.

Apalagi selain pangan, agrobisnis lainnya juga berkembang. Bahkan sektor agro industripun terus berkembang. Malah berbagai pabrik pupuk, pestisida, dan berbagai kegiatan agro industri berhasil memproduksi pula konglomerat-konglomerat baru atau setidaknya mempertebal kocek sejumlah konglomerat dan birokrat komprador.

Hanya ironisnya, kehidupan para petani tak banyak berubah. Terutama karena target swasembada juga diiringi kebijakan ketat pemerintah dalam mengatur harga produksi pertanian, terutama beras. Maka ketika pada komoditi ekonomi lain diberlakukan mekanisme pasar, namun pada gabah dan beras harga dipatok oleh kebijakan pemerintah. Sehingga punggung petani harus terkelupas; bersimbah darah, tanah, nanah, dan peluh.

Meski panen berlipat, nasib mereka tetap tak berubah. Melarat! Yang miskin makin miskin, yang kaya bertambah kaya. Yang bertambah kaya adalah para tengkulak, pengijon, para mafia industri pertanian yang menjepit petani dari hulu dan hilir.

“Padahal pertanian itu adalah dari hulu hingga ke hilir. Namun pemerintah tak pernah memberi mereka bekal untuk menguasai itu. Sehingga petani kita ditumbuhkan bukan menjadi subjek, tetapi menjadi objek bagi bisnis para mafia pertanian dan birokrat komprador,” ujar Ir.Setya Dharma, M.Si. Direktur Politani Universitas Andalas di Tanjung Pati kepada Koran LAPAU.

Tampaknya kemakmuran memang lebih sering membuat orang lupa. Pengorbanan petani yang semula dirancang hanya untuk sementara, ternyata berlanjut, bahkan hingga kini; hingga genderang reformasi telah ditabuh bertalu-talu.

Hingar-bingar teriakan reformasi justeru semakin membuat suara jerit petani kita hilang ditelan gelombang kehidupan. Kemiskinan petani telah menjadi hal yang biasa. Sehingga jangan berpikir saat ini ada anak Indonesia yang dengan gagah berkata-
kata,”Kelak saya akan jadi petani,” Ketakpedulian pada petani tergambar

jelas pada banyak praktek kehidupan kita. Ambil contoh perbandingan harga jual tanah perumahan dan tanah sawah. Kenapa tanah perumahan saat ini jauh lebih mahal ketimbang tanah sawah? Padahal tidak mudah mencari tanah yang bisa dijadikan sawah. Tetapi begitu mudahnya saat ini menjadikan tanah sawah untuk tanah perumahan.

Begitu tak lagi peduli pada keadilan. Demi uang recehan, begitu mudahnya para bupati dan walikota kita mengeluarkan Surat Izin mendirikan bangunan di atas lahan sawah yang dengan begitu susah payahnya dicancang lateh para nenek moyang.

Begitu pula nasib petani kita. Mungkin terlalu enak berladang di punggung mereka? Sehingga begitu teganya untuk terus mencangkuli punggung mereka, sambil tertawa jumawa.(YA).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar