Rabu, Februari 3

NAGARI ANGAN-ANGAN

Oleh : Yulfian Azrial

Pengantar :
YULFIAN AZRIAL, sejak lama sangat gencar memperjuangkan tegaknya kembali jati diri orang Minang. Tidak hanya sebelum reformasi. Tetapi beliau adalah sedikit pejuang reformasi yang terus bergerak sampai ke tingkat impelementasi. Bila Program Revitalisasi Nagari Adat yang kini dianggap sukses, bahkan telah menjadi model nasional. Tentu tidak lepas dari peranannya sebagai Konsultan.
Ini tidak mengherankan. Karena jawabannya, bisa anda simpulkan sendiri dari salah satu tulisannya berikut yang di tulis di Koran Minang News, tahun 2005 silam yang berjudul ; NAGARI ANGAN-ANGAN. (Hendra Saputra)



Kembali ka nagari baca: Baliak Banagari), berdasarkan kepada adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, tampaknya akan tetap menjadi angan-angan. Padahal, ini adalah sebuah kesempatan bagi orang Minang.

Sebuah kesempatan untuk kembali ke jati dirinya; menjadi Minang. Bukan menjadi kabau; hewan besar yang dapat menjadi tunggangan, dapat digunakan menarik pedati dengan beban berat, atau menghela bajak untuk kepentingan orang lain. Atau menjadi hamba sahaya (baca-pegawai) yang patuh tatkala telah ‘dicucuk hidungnya’. Lalu seenaknya dipecut, dicambuk, manakala melakukan hal-hal yang tidak disukai ‘tuan’nya.

Tambah lagi, inilah kesempatan bagi orang Minang sebagai kominitas muslim, untuk memberikan sumbangan terbesar kepada masyarakat dunia. Memberikan sebuah contoh nyata, bagaimana menata sebuah lingkungan kehidupan ke arah masyarakat yang baldatun toyyibatun, warobbun ghafur.

Inilah sebuah kesempatan untuk menjadikan sistem Nagari Islam Minangkabau, menjadi sebuah oase di tengah gurun kehidupan yang kini kian gersang. Terutama karena kegersangan akibat sekularisme. Sehingga di bawah kepemimpinan ‘budaya toghut’ Amerika dan penetrasi zionis, intrik-intrik neo kolonialis kian menggila.

Teramat disayangkan memang. Genderang kembali nagari yang ditabuh dengan gegap gempita, hanya untuk melakukan upacara-upacara tanpa makna, mengiringi ritual penggantian nama dari desa ke nagari

Bila di desa ada LKMD, di nagari sekarang ada BPAN (Badan Perwakilan Anak Nagari) atau BPRN (Badan Perwakilan Rakyat Nagari). Bila di desa ada LSD dan KAN, sekarang ada LSN (Lembaga Syarak Nagari) dan LAN (Lembaga Adat Nagari).

Bahkan hutan belantara struktur nagari kian ramai dengan adanya BMAS (Badan Musyawarah Adat dan Syarak), ada lagi Paga Nagari, ada lagi Bundo Kanduang, dll. Tambah pula sejumlah struktur yang dibangun oleh sejumlah LSM ‘plat merah” demi menangguk dana proyek. Akibatnya, kian saratlah struktur nagari dengan beragam tumpang tindih tanggungjawab dan kewenangan yang penuh potensi konflik.

Wajar kalau banyak pihak kini mulai mempertanyakan. Apakah ini sebuah giringan? Untuk menjadi pembuktian, bahwa konsep nagari Minangkabau itu hanyalah sebuah ‘pepesan kosong’?

Artinya, manakala konflik kian meningkat. Manakala nagari yang dibuat kian banyak dihujat, pihak-pihak tertentu dapat menjadikannya alasan untuk ‘mengenyahkan’ sama sekali cita-cita orang Minang untuk membangun kembali nagarinya. Karena kegagalan ini akan menjadi payung untuk menggusur sebuah sistem bermasyarakat yang seratus porsen sesuai syariat.

Memang disayangkan. Padahal mendirikan kembali nagari (sesuai dengan syariat Islam) di Minangkabau adalah hak yang dilindungi oleh Undang-undang. Ia berada di bawah payung hukum yang jelas. Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diamandemen, menyatakan, bahwa “Desa atau yang disebut dengan nama lain (di Minangkabau: Nagari-pen) sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal-usul yang bersifat istimewa”.

Bahkan di dalam UU 22/1999 dinyatakan bahwa “Desa atau yang disebut dengan nama lain (di Minangkabau: Nagari-pen) adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal- usul (hak asal-usul sesuai UUD 1945 pasal 18-pen) dan adat istiadat setempat.”

Jadi hak asal-usul sangat legal dan diakui secara formal. Atas kesadaran inilah masyarakat Papua barangkali, menuntut UU Otonomi Khusus, dan mendirikan lembaga MRP (Majelis Rakyat Papua) yang menjadi penentu legalnya sebuah aturan dan kebijakan di Papua, di samping DPRD dan Pemerintah Propinsi. Barangkali atas dasar ini pula Nangru Aceh menerapkan syariat Islam. Jogya kabarnya bakal menyusul. Begitu juga Jakarta dan Bali. (Baca : Belajarlah pada Orang Badui)

Masyarakat Minang? Masyarakat yang dikenal sebagai ‘soko guru’ demokrasi itu, malah dengan alasan ‘modernisasi’ kini digiring untuk mengadobsi sistem demokrasi Mekah zaman jahiliyah. Sebuah sistem demokrasi yang juga telah diklaim sebagai konsep tryas politica oleh Montesqew.

Tapi, benarkah demokrasi ala Makkah zaman jahiliyah itu lebih modern ketimbang system nagari yang didasarkan pada ajaran Rasulullah SAW? (Baca Mina Ka’bah: Yudilfan Habib, Edisi ini) Bukankah buah dari trias politika itu telah begitu nyata? Arogansi adikuasa, dominasi penguasa, money politik, demonstrasi brutal, vandalisme, anarkis, dll. Bukankah semua itu justeru adalah bentuk prilaku yang teramat primitif? Naudzubillah! Quo Vadis modern?

Namun yang lebih memprihatinkan, sejumlah urang awak yang berada di DPRD dan di birokrasi, juga tampak mabuk kuasa. Mereka bukannya bangkit untuk memperjuangkan hak asal-usul sesuai UUD 1945 itu. Mereka justeru melupakan kepentingan luhur bersama untuk membangun kembali nagari yang sebenarnya. Syahwat politik kelompok dan golongan, tampaknya masih mengalahkan pikiran dan akal sehat mereka.

Dengan sigap mereka memanfaatkan setiap kesempatan dengan birahinya. Termasuk kesempatan merancang format nagari yang disesuaikan dengan kemudahan pemenangan pemilu bagi partainya.
Maka jangan heran menyaksikan pentas demokrasi di nagari-nagari kita saat ini. Pondasi barajo ka mufakat; bulek sagolong, picak salayang dilupalupakan, dan diganti dengan system barajo ka vooting; bulek sagolongan, barajo ka nan kuek
.
‘Penyakit demokrasi jahiliyah’ yang selama ini hanya kita lihat berjangkit di pusat kekuasaan, dan di negara-negara liberal, kini telah menjamur hingga ke pelosok-pelosok nagari. Bahkan telah menjadi pemandangan keseharian yang teramat memasgulkan.

Niniak mamak yang biasanya menjadi simbol kepemimpinan Minangkabau; yang didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting untuk memimpin anak-kemanakan menuju kemaslahatan dan kemakmuran, kini dikerangkeng dalam jeruji yang bernama LAN (Lembaga Adat Nagari) atau KAN. Ia hanya diberi wewenang sebatas urusan-urusan seremonial.

Bahkan Beliau-beliau itu semakin sering dibariskan di terik panas, sekadar di suruh membungkuk-bungkuk pada para tamu. Sungguh mereka tidak lagi menjadi tuan rumah. Apalagi sebagai raja. Tetapi lebih banyak menjadi pelengkap penderita di wilayah ‘barih balabeh’ nya sendiri.

Sistem kepemimpinan adat yang multidimensi itu semakin dipinggirkan, bahkan melebihi perlakuan penguasa di zaman Belanda. Buktinya, di BPAN atau BPRN, penghulu hanya ditempatkan menjadi sebuah fraksi.

Artinya, tuntas sudah penjagalan terhadap hak dan wewenang kepemimpinan adat di sebuah nagari. Niniak mamak yang menjadi simbol kehormatan kita; —dengan sistem sekarang— akan sangat mudah dinistakan, hanya karena kalah suara.

Pendapat para cerdik pandai juga dengan mudah dimentahkan, bahkan oleh orang-orang yang tidak berpendidikan sekalipun. Karena dalam format nagari seperti ini, ‘kebenaran’ tidak lagi menjadi barang rujukan. Karena sistem yang ada hanya mendukung suara mayoritas; suara terbanyak. Karena tak ada jaminan, kalau lembaga ini tidak akan didominasi oleh preman-preman mabuk, atau begundal-begundal sewaan.

Pemilihan pemimpin dalam nagari juga tidak lagi mengacu pada rukun dan syarat seperti yang tercantum dalam ketentuan adat. Kursi kepemimpinan, telah menjadi komoditi yang bisa diperjual-belikan. Jadi, bukan lagi menjadi amanah yang perlu pertanggungjawaban.

Lalu di mana sekarang nagari Minangkabau yang didasarkan pada adat basandi syarak itu? Untuk kesekian kalinya, ia kembali menjadi sebuah nagari angan-angan, entah sampai kapan.


sekarang perjuangan panjang Yulfian Azrial, untuk mewujudkan nagari angan-angannya makin menunjukkan hasil lewat Program Revitalisasi Nagari Adat, yang kini menjadi model nasional. Jadi memang wajar kalau beliau kita beri kesempatan untuk mewujudkan Nagari angan-angan yang tentunya sangat menjanjikan kembalinya kedaulatan dan kemakmuran kita. Caranya ; Mari kita dukung beliau untuk maju sebagai kandidat Bupati Kabupaten Lima Puluh Kota 2010-2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar