Rabu, Januari 27

KABAU MINANG

Oleh: Yulfian Azrial

Tampaknya memang selalu ada dua pilihan klasik bagi setiap anak Minangkabau; menjadi Minang atau menjadi Kabau. Bagi yang memilih identitas sebagai orang yang Minang, ia akan teguh bersitumpu pada adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Sementara yang tak mampu lagi bersitumpu pada adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, mau tak mau harus menerima nasibnya sebagai kabau. Pilihan yang begitu ekstrim

***

Pada hakekatnya, Tambo begitu terang menuturkan akar sejarah yang sebenarnya. Bahwa para nenek moyang kita datang ke bumi nusantara ini setelah redanya topan Nabi Nuh

Artinya, dengan memahami sejarah dalam Tambo, kesatuan sejarah dunia bakal utuh kembali. Sekaligus akan membuktikan bahwa sejak awal, nenek moyang kita adalah muslim, karena Adam As seorang muslim. Atau siapa yang berani bilang kalau Adam As itu non muslim Coba simak lagi QS 3: 81,83, QS :22:78.

Sementara, bila nenek moyang kita adalah Sultan Iskandar Zulkarnain (SIZ). Alangkah tidak masuk akalnya. Terutama karena keberadaan tarikh zaman Sultan Iskandar Zulkarnain berabadabad setelah topan nabi Nuh. Jadi tidak logis sama sekali.

Selain itu, anak Sultan Iskandar Zulkarnain jumlahnya tentu lebih dari tiga orang. Apalagi, sebagai seorang kaisar yang memiliki permaisuri dan sejumlah selir, tentu sangat sulit untuk menghitung jumlah anaknya

Namun sang his story memang telah sukses mengalihkan nama Nuh sebagai Sultan Iskandar Zulkarnain (SIZ). Ini sungguh telah meracuni keluhuran Tambo. Tambo yang semula dianggap sakral oleh para Minang yang diwariskan secara hati hati berdasarkan pola sabarih bapantang lupo satitiak bapantang tingga akhirnya 'diracuni' kaum penjajah Belanda dan tentu saja sang his story yang diperalat untuk kepentingannya.

Maka yang mengakui Tambo versi Belanda (yang dalam catatan sejarah disosialisasikan lewat para Tuan Lareh), tiba tiba berubah menjadi kabau (kerbau-pen) yang mau saja digiring ke mana. Maka, sejak itu Tambo pun jadi terkesan hanya sekadar Oto Ambo, cerita Tambahan Ambo atau karya sastra lisan dengan Tambah tambahan Bohong

Selanjutnya para kabau dan pengikutnya, digiring untuk melupa lupakan Mina dan Ka'bah, sebagai tempat nenek moyang dan nenek saudara-saudara moyang mereka berasal. Tanah Asal, Tanah Pangkal yang dibahasakan Van Der Thuk sebagai Phinang Kabu.

Betapa jauh para Kabau digiring ke arah Dhalalan Ba'id. Sehingga ia mau saja dibisikkan kalau Islam itu bermula sejak nabi Muhammad SAW, bukannya dan zaman Adam As. Padahal kita sama mewarisi petuah nenek moyang bangsa Minangkabau yang menyata kok sasek diujung jalan, babaliak ka pangka jalan

Lebih celakanya, para kabau ini akhirnya banyak pula yang berprofesi sebagai his story. Lalu dengan angkuhnya berani mengatakan bahwa Tambo hanya bennuatan 3 (tiga) porsen sejarah serta 97 lainnya sekadar mitologi

Para kabau yang tersesat ini sama persis seperti sang mahaguru mereka yang notabene sangat mengangung agungkan metodologi ilmiah yang justru mengakui bahwa penemu Benua Amerika adalah Columbus, untuk selanjutnya mengambil alih kepemilikan tanah yang mereka anggap tidak bertuan. Padahal ia tahu benar kalau orang Indian jauh terlebih dahulu menemukan benua Amerika itu, serta merekalah pewaris syah nagari itu.

Ini sama seperti saat para kabau begitu saja menerima bahwa ikan mujair itu ditemukan oleh seo-rang petani Sunda yang bernama Pak Mujair. Padahal nenek moyang kita telah sejak lberabad-abad lamanya menamakan ikan itu sebagai ikan mudiak aia karena sifat ikan itu yang suka berenang mundur (mudiak-pen)

Begitu dahsyatnya peranan kolonial dan Impenalis Belanda dalam menjungkirkan balikkan sejarah kita. Begitu banyak intervensinya ke dalam Tambo. Begitu jahat memang akibat dan sebuah rekayasa sejarah.

Yang paling dahsyat, diberikan pula bumbu cerita adu kerbau antara orang Jawa dan orang Minang. Tentu saja sambil mengelus dan mengipas-ngipas kecerdikan orang Minang, yang masih banyak bersifat riya. Agar orang Minang lupa akan asal usul mereka. Hingga semakin lupa pada Mina dan Ka'bah sebagai setting awal perkembangan manusia dan perkembangan peradaban di dunia ini.

Lalu, diberikan pula cerita tentang kecerdikan Dt.Parpatiah Nan Sabatang (Sutan Balun), lewat diplomasi anjingnya. Maka berkat kelihaian para his story Snouck Hogranyeisme maka seekor anjing tiba-tiba bisa menjadi pahlawan, sedangkan hukum qisas (tarik balas) yang notabene berasal dari Kitabullah, menjadi najis di ranah Minangkabau.

Sama seperti upaya Barat lewat para ilmuwannya yang mengangkat Fir'aun sebagai pahlawan kebudayaan, sementara di dalam Al Qur'anul Karim, Fir'aun adalah proto type dari manusia yang maha bejad dan maha laknat.

Tampaknya memang selalu ada dua pilihan klasik bagi setiap anak Minangkabau; menjadi Minang atau menjadi Kabau. Bagi yang memilih identitas sebagai orang yang Minang, ia akan teguh bersitumpu pada adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Sementara yang tak mampu lagi bersitumpu pada adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, mau tak mau harus menerima nasibnya sebagai kabau. Pilihan yang begitu ekstrim.

Sebagai kabau (kal an 'am) tentu nasibnya kian malang bila hidung telah dicucuk orang. Apalagi bila diberi tali. Tanpa daya, ia harus mengikut kalau digiring. Seperti untuk mengakui bahwa ia adalah keturunan satu dari tiga anak Iskandar Zulkarnain. Bukannya keturunan dari salah satu kelompok yang dipimpin oleh anak-anak Nuh.

Padahal siapa yang bisa bantah kalau Yahudi dan bangsa Eropa itu secara genetik adalah keturunan dari kabilah yang dipimpin Uncle Sam (Sam Bin Nuh), alias Si Maharaja Alif. Hingga mereka hingga sekarang dikenal sebagai kaum Samiri.

Lalu siapa pula yang akan ingkar kalau ras kuning itu adalah kabilahnya Han (Ham Bin Nuh), atau Si Maharaja Dipang. Kemudian bangsa Melayu (Austronesia) jelas adalah keturunan dari rombongan Yafizd Bin Nuh yaug pelayarannya bertolak dari Tanah Basa (Basrah).

Jadi bukanlah sebuah snobisme bila orang Minang menyederhanakan bangsa di dunia ini hanya menjadi tiga kelompok. Lalu orang Minangkabau (Melayu) yang menyebar dari Madagaskar hingga ke Moro, adalah salah satu kelompoknya.

Sekaligus ini menjadi bukti bahwa benang merah sejarah dunia ini adalah Islam (Monoteisme). Paham yang turun-temurun ada di Minangkabau sejak awalnya adalah paham monoteisme ini (Islam), sehingga ketika penyempurnaan ajaran Islam dilakukan Muhammad SAW, orang Minangkabau dapat menerimanya dengan baik, dan penuh kearifan.

Sehingga jangan heran kalau di bawah mnenhir menhir yang oleh ahli purbakala diakui sebagai peninggalan zaman megalitikum (zaman batu tua) sekitar 3000 SM, sering didapatkan fosil manusia yang miring ke kiri (menghadap ke kiblat atau ke Tanah Asal mereka).

Apakah pemutarbalikan fakta sejarah dalam Tambo hanya sampai di situ? Tentu saja tidak. Kesakralan Bundo Kanduang juga dinistakan lewat penodaan citra cerita dalam Tambo. Akibatnya para Kabau digiring untuk mengenal Ummul Kitab uya (ibu dari segala Kitab). Al Qur'an nya, Bundo Kanduang nya sebagai seorang perempuan yang memiliki anak haram

Padahal di dalam sejumlah Tambo tegas tegas dinyatakan bahwa Bundo Kanduang adalah sebuah perangkat hukum. Yaitu perangkat hukum tertinggi di dalam barih balabeh Alam Minangkabau. Bila persoalan tidak selesai oleh Raja Adat (Manti) maka persoalan akan diteruskan ke Rajo Ibadat (Malin). Bila tidak selesai oleh Raja Adat dan Raja Ibadat, maka persoalan itu akan diteruskan kepada Raja Alam (Pangulu). Bila ketiga raja tersebut tidak juga mampu menyelesaikan persoalan yang tengah terjadi, maka persoalan tersebut akan di hadapkan kepada Bundo Kanduang (Al Qur'an).

Jadi Bundo Kanduang dalam barih balabeh Alam Minangkabau, jelas-jelas adalah sebutan bagi perangkat pemutus dari hasil musyawarah dan mufakat ketiga raja tersebut, sebagaimana tertuang dalam kata-kata adat, bahwa orang Minangkabau itu barajo ka mufakaik, mufakaik barajo ka nan bana, nan bana tagak sandirinyo. Nan tagak sandirinyo itulah yang Qadim. Hanya Allah sajalah yang memutus perkara bagi manusia, sesuai dengan QS 4: 59.

Maka dihadapan Bundo Kanduang itulah segala persoalan ditilik, dicermati dan dibahas. Makanya tegas tegas dikatakan dalam Tambo bahwa kalau sudah dihadapan Bundo Kanduang, indak ado kusuik nan tak ka salasai, indak ado karuah nan tak bisa dijaniahkan

Jadi, Bundo Kanduang memegang kata, biang cabiak gantiang putuih. Kato nan indak buliah dibantah, bana nan indak buliah disabuiklai. Begitu agung dan besamya pengaruh kekuasaan Bundo Kanduang tersebut, sehingga ketiga Raja (lembaga mufakat) tersebut tidak berani menyanggah putusannya

Tabloid Surau 27 Desember 2001

1 komentar:

  1. dimana bisa dibaca tambo minang yang asli? tambo itu dari cerita mulut ke mulut yang dibukukan atau memang benar ada kitabnya? iskandar zulkarnain disini kan merujuk pada nabi zulkarnain-bukan Alekander The Great? kalau benar zulkarnain seperti yang ada dalam surat al-kahfi, dengan simbol barat dan timur dalam dua tanduknya..bukankah jadi cocok dengan tanduk rumah gadang dan banyaknya pemuda minang yang bernama zul sebagai pewaris nama dan karakter merantau Beliau? maaf kalau salah atau kurang paham dengan tulisan ini

    BalasHapus