Jumat, Juni 18

KISAH TAMBO : DATUAK KATUMANGGUNGAN Jo DATUAK PARPATIAH NAN SABATANG (II)

EPISODA : BATU BATIKAM, BATU LAMBANG PERDAMAIAN

Berikut ini adalah salah satu versi kutipan kisah tambo yang erat kaitannya dengan Kisah Tambo Episode Balai Saruang dan Balai Nan Panjang sebelumnya. Mudah-mudahan menjadi bahan bacaan yang berharga..


Masih ingatkan tentang cerita Balai Saruang dan Balai Nan Panjang? Tentu masih ingat, bukan? Nah, dalam musyawarah di Balai Saruang itu terjadi perdebatan yang alot. Namun kedua pihak menampilkan cara-cara yang sangat halus dan bijak. Cara inilah yang kemudian menjadi cikal bakal tradisi alua pasambahan.

Menurut Sutan Balun, aturan yang akan dirumuskanhendaklahsesuai dengan kehendakmasyarakat (mambasuik dari bumi)dan tidak melanggar kebenaran. Hal inikarena yangakan memakai adalah masyarakat juga.Pendapat-pendapatdan keinginan rakyat harus diterima sebagai bahan pertimbangan. Pendapat ini bisa menjadi pedoman dalam membentuk undang.

Sementara Datuak Katumanggungan yang telah sangat mantap dengan ajaran Islam mengatakan bahwa manusia hanyalah makhluk ciptaan Allah SWT. Karena itu segala aturan yang akan dirumuskan harus didasarkan pada ajaran yang telah diturunkan oleh Allah SWT (Titiak dari ateh). Aturan yang dirumuskan haruslah aturan yang disukai oleh Allah SWT.

Karena musyawarah itu akhirnya menjadi wadah sambung rasa, maka Datuak Parpatiah Nan Sabatang akhirnya memahami bahwa paham Datuak Katumanggungan ternyata tidak jauh berbeda dengan apa yang dia inginkan. Apalagi selama rapat, pihak Datuak Parpatiah merasa sangat dihormati dengan santunnya oleh pihak Datuak Katumanggungan. Lama kelamaan membuat nuraninya yang paling dalam tergugah. Bahkan tirai yang membuat ia jadi berjarak dengan kakaknya jadi tersibak.

Ternyata apa yang ia inginkan tidak jauh berbeda dengan apa yang menjadi roh dari Undang Tariak Baleh. Bahkan ia merasa gagasannya semakin lengkap ketika pihak Datuak Katumanggungan beserta pendukungnya menjabarkan konsep Islam tentang gagasannya itu. Hanya saja ada perbedaan dalam beberapa hal mengenai tata cara penerapannya.

Akhirnya rapat di Balai Saruang itu menetapkan hal yang sangat bijak. Mereka memu-tuskan kesepakatan untuk tidak sepakat. Maksudnya, mereka sepakat agar kedua paham dari pihak Sutan Balun dan pendukungnya, serta paham Datuak Katumanggungan dan pendukungnya sama-sama boleh diterapkan di Alam Minangkabau. Merekapun merancang sumpah yang kemudian dikenal dengan sumpah ”Tuah Disakato, Barani Disaiyo”.

***
Kemudian karena telah berhasil membuat picak salayang, bulek sagolong, hasil rapat ini dibawa ke Balai Nan Panjang untuk dikukuhkan dan diumumkan kepada masyarakat banyak. Setelah waktunya tiba rapat umumpun segera dilakukan.Orang berdatangan dari seluruh penjuru Luhak Nan Tigo. Masyarakat dari Luhak Limopuluah, dariLuhakAgam, dan Luhak Tanah Data masing-masing mengirimkan wakil-wakilnya.

Dalam rapat umum ini, sekali lagi, dengan segala kebesaran jiwa Sutan Balun meng-usulkan pulaagar pimpinantertinggi pemerintahan di Alam Minangkabau tetap dipegang oleh Datuak Katumanggungan. Yang hadir sangat setuju pula, karena sesuai dengan keinginan bersama.

Bahkan tidak tanggung-tanggung. Dalam kesempatan itu pintu pula hidayah terbuka untuk Sutan Balun dan pengikutnya. Dengan penuh kebesaran dan kemuliaan ia menyam-paikan niat suci dan keinginannya untuk mengucapkan syahadat.

Masyarakat yang hadir ketika itu tentu terperanjat. Mereka bersorak dan bertakbir memuji kebesaran Allah SWT. Datuak Katumanggungan spontan menyampaikan pula rasa suka citanya. Jika benar Sutan Balun telah mantap sengan niat sucinya,maka ia mengusulkan agar kehendak Sutan Balun segera dipenuhi.

Bila perlu saat dibaiat untuk mengucapkan syahadat, Sutan Balun agar langsung dilewakan dan dikukuhkan menjadi Datuak Parpatiah Nan Sabatang yang akan mendampinginya dalam memimpin Alam Minangkabau.

Masyarakat kian tenggelam dalam gemuruh sorak dan rasa syukur. Berbagai ucapan pujian pada Allah SWT berkumandang dengan sangat semaraknya. Seluruh alam bagaikan ikut bertasbih, dan bertahmid.
Sutan Balun makin terharu dan berkaca-kaca dengan sambutan yang benar-benar di luar dugaannya. Kecintaannya pada bumi MInangkabau kian bertambah-tambah.

Datuak Katumanggungan segera meminta Urang Nan Ampek Jinih segera menyediakan dua buah batu besar. Masing-masing untuk dirinya dan Sutan Balun . Batu besar ini diminta agar diletakkan di Balairung Sari yang sebelah kanan.

Kemudian Datuak Katumanggungan seketika mengucapkan sumpah kewi bahwa ia “ke atas tidak berpucuk, ke bawah tidak berurat, jika mungkir dari kebenaran (Allah SWT)”.

Waktu melaksanakan sumpah itu Datuak Katumanggungan segera membaca La illaha illallah, lalu menghentakkan tongkat jenawi halusnya pada batu yang disediakan. Batu itu tembus sampai ke sebaliknya. Saat mencabut tongkat ia bacakan pula Muhammada rasulullah! Batu ini sekarang tersimpan di rumah seseorang di Dusun Tuo Limo Kaum.

Setelah selesai bersumpah, sekarang giliran Sutan Balun untuk mengangkat sumpah. Berbeda dengan cara yang dipakai Datuak Katumanggungan, Sutan Balun memegang keris. Selanjutnya Sutan Balun ia dengan mantap juga mengucapkan La illaha illallah, lalu ia menghentakkan kerisnya ke batu besar yang telah disediakan.

Ia takjub ketika melihat batu yang lebih besar itu ternyata juga tembus. Ia menjadi semakin yakin dengan kebesaran Allah SWT. Saat mencabut keris, dengan airmata berlinang ia bacakan pula Muhammada rasulullah! Sempurnalah syahadat Sutan Balun.

Pada saat yang sama, berarti resmilah ia menjadi Datuak Parpatiah Nan Sabatang. Batu ini sekarang diabadikan dalam Taman Purbakala Batu Batikam yang terdapat di Limo Kaum.

Datuak Parpatiah Nan Sabatang kemudian ia memandang sekalian masyarakat yang hadir. Keris ia kepalkan ke udara ( persis seperti apa yang pernah ia lakukan di bawah pohon palapa). Suaranya bergetar namun membahana. Terdengar jernih karena para hadirin diam, tegang,menahan nafas.

Mereka ikut merinding tatkala Sutan Balun yang baru dilewakan menjadi Datuak Parpatiah Nan Sabatang itu berucap, “Selama batu ini masih berlubang bekas tikaman keris pusaka ini, yang telah jernih berpantang keruh, adat limbaga akan berkembang, gantang didirikan akan dilanjung isinya. Tuah Sekata, berpantang lapuk oleh hujan berpantang lekang oleh panas,” serunya.

Dalam keadaan itu berdirilah Datuak Katumanggungan memeluk adiknya Datuak Parpatiah Nan Sabatang. Ia segera berbicara pada semua yang hadir, bahwa sekarang di Minangkabau telah ada dua pemimpin dan dua sistem kemasyarakatan yang tak obahnya seperti anak yang lahir kembar. Karena terdapat dua sistem, maka ia meminta rapat untuk mencari nama yang cocok untuk dua sistem kemasyarakatan itu.

Maka akhirnya rapat akbar itu memutuskan bahwa Sistem Kemasyarakatan yang pertama disebut, LAREH KOTO PILIANG (Kato-Phile-Hyang, dalam bahasa Sanskerta berarti aturan yang disukai Tuhan-pen). Maksudnya, menurut paham Koto Piliang segala kebijakan dan keputusan harus mengacu pado nan bana. Yaitu kebenaran yang sesuai dengan aturan Tuhan.

Sistem Kemasayarakatan yang kedua, disebut LAREH BODI CANIAGO (Bodhi-Catni-Arga, dalam bahasa Sanskerta berarti puncak pemikiran yang gemilang). Ini sesuai dengan lahirnya gagasan yang bermula dari budi dan kecerdasan, atau pemikiran yang brilian dari Datuak Parpatiah Nan Sabatang.

Lareh Bodi Caniago ; duduak sahamparan, tagak sapamatang. Maksudnya, menurut paham BODI CANIAGI, segala kebijakan dan keputusan yang berlaku, selain berdasarkan pada aturan yang disukai Tuhan hendaklah dirumuskan lewat mufakat. Dalam hal ini semua pangulu sama kedudukannya.


(Dikutip dari Buku Yulfian Azrial, Raja (rujukan) BAM (Budaya Alam Minangkabau) hal 37-41)

1 komentar: