Sabtu, Februari 6

REVITALISASI NAGARI ADAT

Oleh Yulfian Azrial,S.E
Konsultans Nagari Adat

Latar Belakang
Masyarakat akhir-akhir ini sering dihantui oleh mithos yang hidup selama ini tentang globalisasi. Dimana globalisasi disebutkan sebagai proses yang membuat dunia jadi seragam. Jadi, proses globalisasi dianggap akan bisa menghapus identitas dan jati diri. Bahkan kebudayaan lokal atau etnis akan ditelan oleh kekuatan budaya besar atau kekuatan budaya global.

Seperti diungkapkan Arnold Brown dalam sebuah tulisannya yang diterbitkan World Future Society. Ia mengungkapkan bahwa, “Gelombang perubahan saat ini sifatnya meresahkan banyak orang yang telah bergantung pada berbagai lembaga yang kini tidak lagi efektif atau sedang runtuh, baik dalam proses pemerintahan maupun dalam proses kemasyarakatan …,” tulisnya (Brown 1980).

Bertolak dari fenomena ini, banyak pihak kini merasa kuatir bahwa dengan pengaruh globalisasi secara langsung atau tidak akan dapat pula memperluas cakupan norma dan nilai dalam rangka mengembangkan identitas diri mereka.

Namun sebagai masyarakat Minangkabau seharusnya kita tidak perlu ikut resah. Apalagi sampai kebingungan dan ketakutan. Karena asasi globalisasi sebenarnya bukan barang baru bagi kita masyarakat Minangkabau yang hidup berdasarkan pada falsafah Adat Basandi Syarak-Syarak Basandi Kitabullah.

Apalagi, kegagalan berbagai sistem dan pola kemasyarakatan di berbagai belahan dunia, justru menjadi kabar baik bagi kita.Bahwa kita tak perlu berlama-lama untuk terperangkap dalam sebuah tatanan yang telah ujung pangkalnya. Apalagi sampai ikut lebur dalam kehancuran.

Bahkan mancaliak contoh ka nan sudah, mahambaik tuah ka nan manang karena berbagai sistem kemasyarakatan dunia telah banyak yang gagal mengantarkan umat manusia kepada kemakmuran dalam tatanan yang lebih beradab. Maka kegiatan Revitalisasi Nagari Adat menjadi sesuatu yang sangat urgens dan sangat menentukan nasib kita ke depan.

Kembali ke Tatanan Asli.

Ibarat dengan pakaian, selama ini kita telah coba berbagai pakaian. Maka, yang namanya memakai pakaian orang lain tentu akan sulit untukmenjadi pas dipakai. Bisa saja ketiaknya yang sesak.Atau,kalau di celana, pinggangnya yang longgar sehingga kita kedodoran.Yang jelas kita tergiring dalam kondisi yang serba tidak mengenakkan.

Karena itu. Kita perlu berpikir dan kembali memakai pakaian kita sendiri. Baju kita sendiri dan celana kita sendiri. Kita Kembali ke tatanan kita yang asli.

Bahkan hal ini sejalan dengan pemikiran John Naisbitt (1988) yang mengemukakan pokok-pokok pikiran lain yang paradoks. Menurutnya, semakin kita menjadi universal, tindakan kita (justru) semakin kesukuan, dan berpikir lokal, bertindak global.

Hal ini dimaksudkan agar kita harus senantiasa mengkonsentrasikan kepada hal-hal yang bersifat etnis, yang hanya dimiliki oleh kelompok atau masyarakat itu sendiri, yang telah teruji zaman selama berabad-abad sebagai modal pengembangan ke dunia Internasional.

Bahkan sekaitan dengan pentingnya hal ini, Badan Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahkan telah mengeluarkan Deklarasi No. 36 ( Declaration Of Indegenous People) tahun 2008. Di mana PBB mengisyaratkan agar masyarakat dunia kembali ke tatanan aslinya..

Jadi semua inilah yang menjadi latar belakang dari kegiatan Revitalisasi Nagari Adat yang kini dilakukan di Kabupaten Lima Puluh Kota. Siriah kito baliarkkan ka gagangnyo, Pinang kito pulangkan ka tampuaknyo, baliakkan ka kahidupan banagari manuruik nan samulo. Kita pakai kembali baju milik kita sendiri!

Bentuk Kegiatan

Jadi, kegiatan Revitalisasi Nagari Adat ini, adalah berupa seratus porsen kegiatan pemberdayaan masyarakat adat dengan tujuan kembalinya tugas pokok dan fungsi serta kewenangan perangkat adat di setiap ragari amok mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya dealam mengelola seluruh sumberdaya kaum, kampuang, suku di tiap ragari berdasarkan filosofi Adat Minangkabau Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah dan atau berdasarkan asal usul susunan ash ragari

Maka untuk ini Tim Konsultan telah merekomendasikan pada Pemerintah Kabupaten Lima Puluh Kota untuk mengambil langkah-langkah nyata, bahkan memberikan perhatian dan perbuatan, untuk memotivasi dan memfasilitasi sebagai konstribusi terhadap tugas-tugas pemberdayaan dengan prinsip otonomi luas yang dinamis dan bertanggung jawab dalam sistim dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Payung Hukum

Selain telah menjadi kebutuhan kita bersama, pelaksanaan kegiatan Revitalisasi Nagari Adat ini telah kami rumuskan dengan cermat. Sesuai dengan petuah orang tua-tua kita juga, "Kok mancancang balandasan, kok manitih bapamacik " maka kegiatan Revitalisasi Nagari Adat ini tentunya dilakukan berdasarkan payung hukum yang sangat kuat dan sangat jelas sebagai berikut :

1. Penjelasan ps 18 UUD Tahun 1945 (al) tentang Pengakuan Negara Terhadap keberadaan negri/nagari di Minangkabau dengan susunan aslinya.
2. Permendagri no.39
(waktu tulisan ini di update, telah lahir ada pula Permendagri No 52 tahun 2007 tentang Pemberdayaan Kelembagaan Lokal)
3. Perda Sumatera Barat No. 2 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Nagari; Serta
4. Perda Kabupaten Lima Puluh Kota No. 10 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Nagari;
(waktu tulisan ini di update, telah lahir Perda Kabupaten Lima Puluh Kota No. 04 Tahun 2009 tentang Pemberdayaan Adat di Nagari yang dibidani Yulfian Azrial, dkk)

Berdasarkan hal ini, dilakukanlah pemberdayaan Nagari Adat untuk kembali tatanan kehidupan menurut susunan asli Nagari Adat beserta Perangkataya, sebagaimana sudah ada dalam Barih Balobeh Adat yang menggambarkan bentuk/susunan di masing-masing nagari.

Untuk ini Pemkab Lima Puluh Kota telah membentuk Tim Konsultansi Nagari Adat yang terdiri dari tokoh-tokoh dari berbagai kalangan seperti :

Yulfian Azrial,S.E, dari unsur Budayawan dan Akademisi .
E.Dt. Tumbi dari unsur Niniak Mamak,
Ismet Fauzi Dt Mkt Bosa dari unsur LKAAM
H.R.Awaludin Dt. Pdk Alam dari unsur MUI
M.Janis St.Mudo dari unsur Cadiak Pandai,

Tim Konsultanasi Nagari Adat yang independen ini akan memandu kita semua dalam setiap tahapan kegiatan.

Kemudian di jajaran Pemerintah Kabupaten sendiri kami membentuk Tim Fasilitasi, yang akan terus memberikan support dan akan menjadi penghubung dengan berbagai komponen yang terlibat, dalam bentuk kelompok-kelompok kerja.

Realisasi Program

Dengan adanya kegiatan ini, kita mengharapkan kembalinya kedaulatan, setidak-tidaknya kegairahan dan semangat masyarakat nagari, untuk bersama-sama mendukung, membaur, menjunjung tinggi kembali nilai-nilai luhur adat budaya Minangkabau. Ini juga merupakan kristalisasi dari derap langkah reformasi demi mencapai cita-cita bangsa yaitu Masyarakat Adil dan Makmur yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berilmu pengetahuan teknologi sesuai dengan perkembangan zaman.

Untuk kegiatan tahap awal, selain melakukan inventarisasi di segala sektor, dan terus mengemas berbagai berbagai aspek teknis, maka kami telah menunjuk 13 nagari untuk Percontohan Nagari Adat, masing-masing 1(satu) untuk setiap kecamatan yang ada di Kabupaten Lima Puluh Kota yang tercinta ini. Pencenangannnya telah dilakukan di serentak di 13 kecamatan pada tanggal 16 Juli lalu.

( Saat tulisan ini diupdate, telah dilakukan tahapan sosialisasi, bimbingan teknis, bahkan memulai tahapan implementasi dengan pendeklerasian Hari Adat Basandi Syarak
dan Pencanangan Nagari Adat Basandi Syarak tak kurang di 40 an Nagari Adat )


Penutup

Gayung bersambut, antusiasme masyarakat ternyata sangat mengharukan. Apalagi karena kegiatan ini masih terbatas di 13 nagari, sehingga banyak pihak banyak menuntur kenapa, tidak nagari mereka yang dipilih sebagai Nagari Percontohan.

Sedangkan bagi 13 nagari yang dipilih langsung oleh Camat masing-masing, ini banyak dilihat seperti “taimbau urang nan ka datang…! Karena tentu tidak mungkin pula, angek tadah dari galehnyo. Para niniak mamak apalagi.

Mudah-mudahan harapan besar masyarakat ini benar-benar menjadi kenyataan. Apalagi dengan adanya dukungan penuh Bupati, Pemkab dan legislatif, yang jarang terjadi di daera lain. Mudah-mudahan niat baik ini akan segera tumbuh dan berkembang. Tali badunsanak mulai terjalin kembali. Kenyamanan hidup banagari yang pernah dirasakan nenek moyang kita di zaman dahulu, dapat kita rasakan pula. Semoga!

Keterangan : Sampai tulisan ini dibuat telah lebih dari 42 Nagari Adat di Kabupaten Lima Puluh Kota yang mendeklarasikan Hari Adat Basandi Syarak sekaligus sebagai Nagari Adat Basandi Syarak, sebagai implementasi Program Revitalisasi Nagari Adat ini..

Rabu, Februari 3

NAGARI ANGAN-ANGAN

Oleh : Yulfian Azrial

Pengantar :
YULFIAN AZRIAL, sejak lama sangat gencar memperjuangkan tegaknya kembali jati diri orang Minang. Tidak hanya sebelum reformasi. Tetapi beliau adalah sedikit pejuang reformasi yang terus bergerak sampai ke tingkat impelementasi. Bila Program Revitalisasi Nagari Adat yang kini dianggap sukses, bahkan telah menjadi model nasional. Tentu tidak lepas dari peranannya sebagai Konsultan.
Ini tidak mengherankan. Karena jawabannya, bisa anda simpulkan sendiri dari salah satu tulisannya berikut yang di tulis di Koran Minang News, tahun 2005 silam yang berjudul ; NAGARI ANGAN-ANGAN. (Hendra Saputra)



Kembali ka nagari baca: Baliak Banagari), berdasarkan kepada adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, tampaknya akan tetap menjadi angan-angan. Padahal, ini adalah sebuah kesempatan bagi orang Minang.

Sebuah kesempatan untuk kembali ke jati dirinya; menjadi Minang. Bukan menjadi kabau; hewan besar yang dapat menjadi tunggangan, dapat digunakan menarik pedati dengan beban berat, atau menghela bajak untuk kepentingan orang lain. Atau menjadi hamba sahaya (baca-pegawai) yang patuh tatkala telah ‘dicucuk hidungnya’. Lalu seenaknya dipecut, dicambuk, manakala melakukan hal-hal yang tidak disukai ‘tuan’nya.

Tambah lagi, inilah kesempatan bagi orang Minang sebagai kominitas muslim, untuk memberikan sumbangan terbesar kepada masyarakat dunia. Memberikan sebuah contoh nyata, bagaimana menata sebuah lingkungan kehidupan ke arah masyarakat yang baldatun toyyibatun, warobbun ghafur.

Inilah sebuah kesempatan untuk menjadikan sistem Nagari Islam Minangkabau, menjadi sebuah oase di tengah gurun kehidupan yang kini kian gersang. Terutama karena kegersangan akibat sekularisme. Sehingga di bawah kepemimpinan ‘budaya toghut’ Amerika dan penetrasi zionis, intrik-intrik neo kolonialis kian menggila.

Teramat disayangkan memang. Genderang kembali nagari yang ditabuh dengan gegap gempita, hanya untuk melakukan upacara-upacara tanpa makna, mengiringi ritual penggantian nama dari desa ke nagari

Bila di desa ada LKMD, di nagari sekarang ada BPAN (Badan Perwakilan Anak Nagari) atau BPRN (Badan Perwakilan Rakyat Nagari). Bila di desa ada LSD dan KAN, sekarang ada LSN (Lembaga Syarak Nagari) dan LAN (Lembaga Adat Nagari).

Bahkan hutan belantara struktur nagari kian ramai dengan adanya BMAS (Badan Musyawarah Adat dan Syarak), ada lagi Paga Nagari, ada lagi Bundo Kanduang, dll. Tambah pula sejumlah struktur yang dibangun oleh sejumlah LSM ‘plat merah” demi menangguk dana proyek. Akibatnya, kian saratlah struktur nagari dengan beragam tumpang tindih tanggungjawab dan kewenangan yang penuh potensi konflik.

Wajar kalau banyak pihak kini mulai mempertanyakan. Apakah ini sebuah giringan? Untuk menjadi pembuktian, bahwa konsep nagari Minangkabau itu hanyalah sebuah ‘pepesan kosong’?

Artinya, manakala konflik kian meningkat. Manakala nagari yang dibuat kian banyak dihujat, pihak-pihak tertentu dapat menjadikannya alasan untuk ‘mengenyahkan’ sama sekali cita-cita orang Minang untuk membangun kembali nagarinya. Karena kegagalan ini akan menjadi payung untuk menggusur sebuah sistem bermasyarakat yang seratus porsen sesuai syariat.

Memang disayangkan. Padahal mendirikan kembali nagari (sesuai dengan syariat Islam) di Minangkabau adalah hak yang dilindungi oleh Undang-undang. Ia berada di bawah payung hukum yang jelas. Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diamandemen, menyatakan, bahwa “Desa atau yang disebut dengan nama lain (di Minangkabau: Nagari-pen) sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal-usul yang bersifat istimewa”.

Bahkan di dalam UU 22/1999 dinyatakan bahwa “Desa atau yang disebut dengan nama lain (di Minangkabau: Nagari-pen) adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal- usul (hak asal-usul sesuai UUD 1945 pasal 18-pen) dan adat istiadat setempat.”

Jadi hak asal-usul sangat legal dan diakui secara formal. Atas kesadaran inilah masyarakat Papua barangkali, menuntut UU Otonomi Khusus, dan mendirikan lembaga MRP (Majelis Rakyat Papua) yang menjadi penentu legalnya sebuah aturan dan kebijakan di Papua, di samping DPRD dan Pemerintah Propinsi. Barangkali atas dasar ini pula Nangru Aceh menerapkan syariat Islam. Jogya kabarnya bakal menyusul. Begitu juga Jakarta dan Bali. (Baca : Belajarlah pada Orang Badui)

Masyarakat Minang? Masyarakat yang dikenal sebagai ‘soko guru’ demokrasi itu, malah dengan alasan ‘modernisasi’ kini digiring untuk mengadobsi sistem demokrasi Mekah zaman jahiliyah. Sebuah sistem demokrasi yang juga telah diklaim sebagai konsep tryas politica oleh Montesqew.

Tapi, benarkah demokrasi ala Makkah zaman jahiliyah itu lebih modern ketimbang system nagari yang didasarkan pada ajaran Rasulullah SAW? (Baca Mina Ka’bah: Yudilfan Habib, Edisi ini) Bukankah buah dari trias politika itu telah begitu nyata? Arogansi adikuasa, dominasi penguasa, money politik, demonstrasi brutal, vandalisme, anarkis, dll. Bukankah semua itu justeru adalah bentuk prilaku yang teramat primitif? Naudzubillah! Quo Vadis modern?

Namun yang lebih memprihatinkan, sejumlah urang awak yang berada di DPRD dan di birokrasi, juga tampak mabuk kuasa. Mereka bukannya bangkit untuk memperjuangkan hak asal-usul sesuai UUD 1945 itu. Mereka justeru melupakan kepentingan luhur bersama untuk membangun kembali nagari yang sebenarnya. Syahwat politik kelompok dan golongan, tampaknya masih mengalahkan pikiran dan akal sehat mereka.

Dengan sigap mereka memanfaatkan setiap kesempatan dengan birahinya. Termasuk kesempatan merancang format nagari yang disesuaikan dengan kemudahan pemenangan pemilu bagi partainya.
Maka jangan heran menyaksikan pentas demokrasi di nagari-nagari kita saat ini. Pondasi barajo ka mufakat; bulek sagolong, picak salayang dilupalupakan, dan diganti dengan system barajo ka vooting; bulek sagolongan, barajo ka nan kuek
.
‘Penyakit demokrasi jahiliyah’ yang selama ini hanya kita lihat berjangkit di pusat kekuasaan, dan di negara-negara liberal, kini telah menjamur hingga ke pelosok-pelosok nagari. Bahkan telah menjadi pemandangan keseharian yang teramat memasgulkan.

Niniak mamak yang biasanya menjadi simbol kepemimpinan Minangkabau; yang didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting untuk memimpin anak-kemanakan menuju kemaslahatan dan kemakmuran, kini dikerangkeng dalam jeruji yang bernama LAN (Lembaga Adat Nagari) atau KAN. Ia hanya diberi wewenang sebatas urusan-urusan seremonial.

Bahkan Beliau-beliau itu semakin sering dibariskan di terik panas, sekadar di suruh membungkuk-bungkuk pada para tamu. Sungguh mereka tidak lagi menjadi tuan rumah. Apalagi sebagai raja. Tetapi lebih banyak menjadi pelengkap penderita di wilayah ‘barih balabeh’ nya sendiri.

Sistem kepemimpinan adat yang multidimensi itu semakin dipinggirkan, bahkan melebihi perlakuan penguasa di zaman Belanda. Buktinya, di BPAN atau BPRN, penghulu hanya ditempatkan menjadi sebuah fraksi.

Artinya, tuntas sudah penjagalan terhadap hak dan wewenang kepemimpinan adat di sebuah nagari. Niniak mamak yang menjadi simbol kehormatan kita; —dengan sistem sekarang— akan sangat mudah dinistakan, hanya karena kalah suara.

Pendapat para cerdik pandai juga dengan mudah dimentahkan, bahkan oleh orang-orang yang tidak berpendidikan sekalipun. Karena dalam format nagari seperti ini, ‘kebenaran’ tidak lagi menjadi barang rujukan. Karena sistem yang ada hanya mendukung suara mayoritas; suara terbanyak. Karena tak ada jaminan, kalau lembaga ini tidak akan didominasi oleh preman-preman mabuk, atau begundal-begundal sewaan.

Pemilihan pemimpin dalam nagari juga tidak lagi mengacu pada rukun dan syarat seperti yang tercantum dalam ketentuan adat. Kursi kepemimpinan, telah menjadi komoditi yang bisa diperjual-belikan. Jadi, bukan lagi menjadi amanah yang perlu pertanggungjawaban.

Lalu di mana sekarang nagari Minangkabau yang didasarkan pada adat basandi syarak itu? Untuk kesekian kalinya, ia kembali menjadi sebuah nagari angan-angan, entah sampai kapan.


sekarang perjuangan panjang Yulfian Azrial, untuk mewujudkan nagari angan-angannya makin menunjukkan hasil lewat Program Revitalisasi Nagari Adat, yang kini menjadi model nasional. Jadi memang wajar kalau beliau kita beri kesempatan untuk mewujudkan Nagari angan-angan yang tentunya sangat menjanjikan kembalinya kedaulatan dan kemakmuran kita. Caranya ; Mari kita dukung beliau untuk maju sebagai kandidat Bupati Kabupaten Lima Puluh Kota 2010-2015