Rabu, Januari 27

Reformasi Yasinan dan Otonomi Daerah

Catatan : Yulfian Azrial

BEGITU UU Otonomi Daerah diluncurkan, maka di tahun 2000 silam, seorang HABIB teman saya, datang ke SURAU kami, untuk sharing. Seperti biasanya kami melakukan tamasya spiritual. Kini 10 Tahun berlalu.Laporan tamasya spiritual itu, terasa makin urgens untuk saya bagi pada kita semua. Selamat bertamasya......

****

SURAT Yassin yang termaktub dalam kitabullah Alqur’an, dan telah dikenal oleh umat Islam sejak 15 abad yang lalu, memuat gambaran tatanan kehidupan bernegara dan berbangsa. Namun justru hudalinnas (petunjuk bagi manusia) tersebut terkesampingkan oleh pengetahuan Barbarian yang diagungkan sebagai hal modern, kelahiran Barat.

Penggagas otonomi daerah sendiri, entah sadar entah tidak mengorek teorema ekonomi ala Michael Hammer tentang manajemen, yang mengilhami konsep tatanan bernegara dan berbangsa secara process oriented. Namun bukan tidak mungkin kalau rumusan otonomi daerah tersebut merujuk kepada surat Yassin ayat 38-40.

Dalam ayat tersebut, Allah SWT jelas-jelas memberikan petunjuk, baik melalui ayat Qauliyah maupun ayat Qauniyah. Dalam ayat qauliyah tersebut Allah mengatakan pada Yassin ayat 38-40 : Dan Matahari berputar pada garis edarnya, yang demikian itu telah menjadi ketetapan dari yang Mahaperkasa dan Maha berpengetahuan. Dan bulan kami tetapkan tempat beredarnya, hingga kembali sebagaimana mayang tua (berbentuk bulan sabit). Matahari tidak menyusul bulan, dan malam tidak pula mendahulukan siang, dan seluruh planet beredar pada garis edarnya dengan teratur.

Kalau kita sepakat dengan gambar yang telah dibikin oleh para ahli astronomi, tentu akan kita temui bahwa matahari berada di titik sentral, sedang planet lain berada disekeliling matahari. Planet yang tampak itu, juga menjadi titik tengah bagi bulan atau sejenisnya (satelit-red) yang mengitarinya.

Jika kita menamakan titik tengah itu dengan sebutan pemerintah pusat (M), tentunya titik-titik lain yang ada pada garis elips bisa kita namakan dengan pemerintahan yang berada di seputar pemerintah pusat. Satu sama lain merupakan satu kesatuan koordinasi, dan bukan kesatuan ordinasi, sehingga tidak ada arogansi satu sama lainnya. Terutama sekali arogansi titik tengah atau pemerintah pusat terhadap pemerintah yang berada dalam jalur garis elip tersebut.

Tentu saja malam tidak dapat mendahului siang, dan begitu juga hal sebaliknya. Maka berlakulah hukum ilahiyah yang bernama qadar. Dengan demikian, perbenturan kepentingan antara pemerintah pusat dengan pemerintah di sekitarnya tidak pernah terjadi. Hal itu dapat berlaku jika seluruh tatanan yang ada secara bersama menjaga ketersinggungan bahkan merasa menguasai yang satu dengan yang lainnya untuk tidak memunculkan sikap tersebut.

Penyimpangan atau pengingkaran yang dilakukan oleh tatasurya atau tatanan kepemerintahan yang ada, bisa terjadi karena ketidakpatuhan terhadap hukum ilahiyah.

Jika salah satu dari sekian titik yang berada pada garis elips yang telah ditetapkan keluar, dan bahkan berupaya untuk menghalangi titik atau pemerintahan di sekitarnya, maka perbenturan akan terjadi secara otomatis.

Nah, perbenturan tersebut Allah namakan dalam QS 56 : 3 sebagai qiamat. Dalam ayat tersebut qiamat merupakan perbenturan antara golongan yang merasa mulia dan golongan yang merasa hina. Berarti ada yang dimuliakan dan ada yang dihinakan.

Tentu saja kepentingan golongan yang merasa mulia dengan golongan yang merasa hina berbeda. Jadi, jika salah satu dari tatanan tersebut sudah mulai over acting, tentu saja kecelakaan besar akan terjadi. Contoh, daerah-daerah yang tengah bergejolak akibat adanya keinginan dari salah satu titik yang ada untuk merasa berhak menguasai titik pemerintahan yang lain.

Untuk menghindari terjadinya perbenturan dan terciptanya tatanan yang saling menjaga, maka yang diperlukan adalah kepatuhan untuk mengikuti satu aturan. Aturan dari Sang Maha Penjaga dan Maha Mengatur. Berarti, titik tengah dan titik-titik pemerintahan yang berada dalam satu garis edar tersebut, mau tidak mau, baik secara sukarela maupun terpaksa harus memakai sumber aturan yang satu ; aturan ilahiyah.

Jadi pada dasarnya, yang sebaik-baik tatanan, adalah tatanan ilahiyah. Mengapa kita tidak merujuk langsung kepada tatanan tersebut. Padahal tawaran tersebut terbuka lebar diberikan Allah kepada kita, sebagaimana yang termaktub dalam QS 89 : 27-30 yang artinya : Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Rabmu (yang mengatur kamu) dengan redha, agar mendapat keredhaan-Nya, masuklah kedalam golongan-KU, dan masuklah kedalam surga-KU.

Jelas sekali untuk bisa kembali kepada ketentuan ilahiyah, hal yang pertama dibutuhkan adalah ketenangan jiwa. Kemudian keredhaan (dengan sukarela). Barulah bisa disebut sebagai golongan Allah (kelompok yang berada dalam tatanan garis elip). Terakhir barulah kita diperkenankan masuk ke dalam surga-NYA. (YA-BIB-SURAU)

* Mudah-mudahan laporan tamasya spiritual ini mampu menggugah Anda dan mengundang iktibar dahsyat yang sanggup menggetarkan jiwa.....

KABAU MINANG

Oleh: Yulfian Azrial

Tampaknya memang selalu ada dua pilihan klasik bagi setiap anak Minangkabau; menjadi Minang atau menjadi Kabau. Bagi yang memilih identitas sebagai orang yang Minang, ia akan teguh bersitumpu pada adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Sementara yang tak mampu lagi bersitumpu pada adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, mau tak mau harus menerima nasibnya sebagai kabau. Pilihan yang begitu ekstrim

***

Pada hakekatnya, Tambo begitu terang menuturkan akar sejarah yang sebenarnya. Bahwa para nenek moyang kita datang ke bumi nusantara ini setelah redanya topan Nabi Nuh

Artinya, dengan memahami sejarah dalam Tambo, kesatuan sejarah dunia bakal utuh kembali. Sekaligus akan membuktikan bahwa sejak awal, nenek moyang kita adalah muslim, karena Adam As seorang muslim. Atau siapa yang berani bilang kalau Adam As itu non muslim Coba simak lagi QS 3: 81,83, QS :22:78.

Sementara, bila nenek moyang kita adalah Sultan Iskandar Zulkarnain (SIZ). Alangkah tidak masuk akalnya. Terutama karena keberadaan tarikh zaman Sultan Iskandar Zulkarnain berabadabad setelah topan nabi Nuh. Jadi tidak logis sama sekali.

Selain itu, anak Sultan Iskandar Zulkarnain jumlahnya tentu lebih dari tiga orang. Apalagi, sebagai seorang kaisar yang memiliki permaisuri dan sejumlah selir, tentu sangat sulit untuk menghitung jumlah anaknya

Namun sang his story memang telah sukses mengalihkan nama Nuh sebagai Sultan Iskandar Zulkarnain (SIZ). Ini sungguh telah meracuni keluhuran Tambo. Tambo yang semula dianggap sakral oleh para Minang yang diwariskan secara hati hati berdasarkan pola sabarih bapantang lupo satitiak bapantang tingga akhirnya 'diracuni' kaum penjajah Belanda dan tentu saja sang his story yang diperalat untuk kepentingannya.

Maka yang mengakui Tambo versi Belanda (yang dalam catatan sejarah disosialisasikan lewat para Tuan Lareh), tiba tiba berubah menjadi kabau (kerbau-pen) yang mau saja digiring ke mana. Maka, sejak itu Tambo pun jadi terkesan hanya sekadar Oto Ambo, cerita Tambahan Ambo atau karya sastra lisan dengan Tambah tambahan Bohong

Selanjutnya para kabau dan pengikutnya, digiring untuk melupa lupakan Mina dan Ka'bah, sebagai tempat nenek moyang dan nenek saudara-saudara moyang mereka berasal. Tanah Asal, Tanah Pangkal yang dibahasakan Van Der Thuk sebagai Phinang Kabu.

Betapa jauh para Kabau digiring ke arah Dhalalan Ba'id. Sehingga ia mau saja dibisikkan kalau Islam itu bermula sejak nabi Muhammad SAW, bukannya dan zaman Adam As. Padahal kita sama mewarisi petuah nenek moyang bangsa Minangkabau yang menyata kok sasek diujung jalan, babaliak ka pangka jalan

Lebih celakanya, para kabau ini akhirnya banyak pula yang berprofesi sebagai his story. Lalu dengan angkuhnya berani mengatakan bahwa Tambo hanya bennuatan 3 (tiga) porsen sejarah serta 97 lainnya sekadar mitologi

Para kabau yang tersesat ini sama persis seperti sang mahaguru mereka yang notabene sangat mengangung agungkan metodologi ilmiah yang justru mengakui bahwa penemu Benua Amerika adalah Columbus, untuk selanjutnya mengambil alih kepemilikan tanah yang mereka anggap tidak bertuan. Padahal ia tahu benar kalau orang Indian jauh terlebih dahulu menemukan benua Amerika itu, serta merekalah pewaris syah nagari itu.

Ini sama seperti saat para kabau begitu saja menerima bahwa ikan mujair itu ditemukan oleh seo-rang petani Sunda yang bernama Pak Mujair. Padahal nenek moyang kita telah sejak lberabad-abad lamanya menamakan ikan itu sebagai ikan mudiak aia karena sifat ikan itu yang suka berenang mundur (mudiak-pen)

Begitu dahsyatnya peranan kolonial dan Impenalis Belanda dalam menjungkirkan balikkan sejarah kita. Begitu banyak intervensinya ke dalam Tambo. Begitu jahat memang akibat dan sebuah rekayasa sejarah.

Yang paling dahsyat, diberikan pula bumbu cerita adu kerbau antara orang Jawa dan orang Minang. Tentu saja sambil mengelus dan mengipas-ngipas kecerdikan orang Minang, yang masih banyak bersifat riya. Agar orang Minang lupa akan asal usul mereka. Hingga semakin lupa pada Mina dan Ka'bah sebagai setting awal perkembangan manusia dan perkembangan peradaban di dunia ini.

Lalu, diberikan pula cerita tentang kecerdikan Dt.Parpatiah Nan Sabatang (Sutan Balun), lewat diplomasi anjingnya. Maka berkat kelihaian para his story Snouck Hogranyeisme maka seekor anjing tiba-tiba bisa menjadi pahlawan, sedangkan hukum qisas (tarik balas) yang notabene berasal dari Kitabullah, menjadi najis di ranah Minangkabau.

Sama seperti upaya Barat lewat para ilmuwannya yang mengangkat Fir'aun sebagai pahlawan kebudayaan, sementara di dalam Al Qur'anul Karim, Fir'aun adalah proto type dari manusia yang maha bejad dan maha laknat.

Tampaknya memang selalu ada dua pilihan klasik bagi setiap anak Minangkabau; menjadi Minang atau menjadi Kabau. Bagi yang memilih identitas sebagai orang yang Minang, ia akan teguh bersitumpu pada adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Sementara yang tak mampu lagi bersitumpu pada adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, mau tak mau harus menerima nasibnya sebagai kabau. Pilihan yang begitu ekstrim.

Sebagai kabau (kal an 'am) tentu nasibnya kian malang bila hidung telah dicucuk orang. Apalagi bila diberi tali. Tanpa daya, ia harus mengikut kalau digiring. Seperti untuk mengakui bahwa ia adalah keturunan satu dari tiga anak Iskandar Zulkarnain. Bukannya keturunan dari salah satu kelompok yang dipimpin oleh anak-anak Nuh.

Padahal siapa yang bisa bantah kalau Yahudi dan bangsa Eropa itu secara genetik adalah keturunan dari kabilah yang dipimpin Uncle Sam (Sam Bin Nuh), alias Si Maharaja Alif. Hingga mereka hingga sekarang dikenal sebagai kaum Samiri.

Lalu siapa pula yang akan ingkar kalau ras kuning itu adalah kabilahnya Han (Ham Bin Nuh), atau Si Maharaja Dipang. Kemudian bangsa Melayu (Austronesia) jelas adalah keturunan dari rombongan Yafizd Bin Nuh yaug pelayarannya bertolak dari Tanah Basa (Basrah).

Jadi bukanlah sebuah snobisme bila orang Minang menyederhanakan bangsa di dunia ini hanya menjadi tiga kelompok. Lalu orang Minangkabau (Melayu) yang menyebar dari Madagaskar hingga ke Moro, adalah salah satu kelompoknya.

Sekaligus ini menjadi bukti bahwa benang merah sejarah dunia ini adalah Islam (Monoteisme). Paham yang turun-temurun ada di Minangkabau sejak awalnya adalah paham monoteisme ini (Islam), sehingga ketika penyempurnaan ajaran Islam dilakukan Muhammad SAW, orang Minangkabau dapat menerimanya dengan baik, dan penuh kearifan.

Sehingga jangan heran kalau di bawah mnenhir menhir yang oleh ahli purbakala diakui sebagai peninggalan zaman megalitikum (zaman batu tua) sekitar 3000 SM, sering didapatkan fosil manusia yang miring ke kiri (menghadap ke kiblat atau ke Tanah Asal mereka).

Apakah pemutarbalikan fakta sejarah dalam Tambo hanya sampai di situ? Tentu saja tidak. Kesakralan Bundo Kanduang juga dinistakan lewat penodaan citra cerita dalam Tambo. Akibatnya para Kabau digiring untuk mengenal Ummul Kitab uya (ibu dari segala Kitab). Al Qur'an nya, Bundo Kanduang nya sebagai seorang perempuan yang memiliki anak haram

Padahal di dalam sejumlah Tambo tegas tegas dinyatakan bahwa Bundo Kanduang adalah sebuah perangkat hukum. Yaitu perangkat hukum tertinggi di dalam barih balabeh Alam Minangkabau. Bila persoalan tidak selesai oleh Raja Adat (Manti) maka persoalan akan diteruskan ke Rajo Ibadat (Malin). Bila tidak selesai oleh Raja Adat dan Raja Ibadat, maka persoalan itu akan diteruskan kepada Raja Alam (Pangulu). Bila ketiga raja tersebut tidak juga mampu menyelesaikan persoalan yang tengah terjadi, maka persoalan tersebut akan di hadapkan kepada Bundo Kanduang (Al Qur'an).

Jadi Bundo Kanduang dalam barih balabeh Alam Minangkabau, jelas-jelas adalah sebutan bagi perangkat pemutus dari hasil musyawarah dan mufakat ketiga raja tersebut, sebagaimana tertuang dalam kata-kata adat, bahwa orang Minangkabau itu barajo ka mufakaik, mufakaik barajo ka nan bana, nan bana tagak sandirinyo. Nan tagak sandirinyo itulah yang Qadim. Hanya Allah sajalah yang memutus perkara bagi manusia, sesuai dengan QS 4: 59.

Maka dihadapan Bundo Kanduang itulah segala persoalan ditilik, dicermati dan dibahas. Makanya tegas tegas dikatakan dalam Tambo bahwa kalau sudah dihadapan Bundo Kanduang, indak ado kusuik nan tak ka salasai, indak ado karuah nan tak bisa dijaniahkan

Jadi, Bundo Kanduang memegang kata, biang cabiak gantiang putuih. Kato nan indak buliah dibantah, bana nan indak buliah disabuiklai. Begitu agung dan besamya pengaruh kekuasaan Bundo Kanduang tersebut, sehingga ketiga Raja (lembaga mufakat) tersebut tidak berani menyanggah putusannya

Tabloid Surau 27 Desember 2001

Senin, Januari 25

YANG OMPONG DAN YANG PONTONG

Sebuah Dongeng Terhormat Oleh : Yulfian Azrial


INI bukan cerita dari Kebun Binatang Bukittinggi, ataupun dari Taman Margasatwa Ragunan. Syahdan, menurut si empunya cerita semuanya terjadi di tenpat-tempat yang lebih terhormat lagi. Karena itulah tulisan ini disebut Dongeng Terhormat.

Lalu bagaimana kisah dari dongeng itu. Berikut ini adalah rangkaian ceritanya yang perlu anda simak dengan seksama.

***

Suatu ketika, terjadilah semacam pesta. Yang hadir semuanya mengaum. Jadi jelaslah, bahwa semuanya mengaku sebagai macan. Macan yang suka mengaum dalam sejuta gertak.

Pernahkah Anda melihal macan bersiul? Pemandangan itu dapat kita saksikan dalam acara pesta ini. Jadi, jangan sangka pada pesta itu hanya ada sekadar 'festival auman belaka. Banyak lagi yang aneh-aneh terjadi. Termasuk macan yang bersiul tadi. Itulah siulan yang secara turun temurun dianggap keramat.

Bila siulan itu berlagu, maka hadirin seketika menjadi hening, disertai angguk-angguk dalam rukuk. Padahal tahukah Anda, bahwa yang bersiul itu diam-diam tertawa dalam hatinya. Karena sebenarnya, ia bersiul cuma agar giginya yang ompong tidak diketahui publik.

Ia memang tak bergigi lagi, apalagi bertaring. Dari hasil diagnosa dokter, itu disebabkan terlalu sering beronani. Anda mungkin belum tahu, kalau macan beronani pakai gigi. Nah, itulah salah satu yang terjadi dalam dongeng terhormat ini.

Lalu, tahukah Anda, bahwa semua itu umumnya dilakukan oleh macan yang telah tua-tua? Macan macan tua yang tampaknya masih menuntut agar kemacanannya tetap diakui, di dalam masa menaphouse-nya.

Ada lagi lakonan yang tak kalah kocaknya. Ini masih tentang peserta dalam kategori macan ompong tadi. Tapi yang ini giginya ompong bukan karena sering beronani, tapi giginya itu benar yang belum tumbuh. Apalagi taring. Ia tak punya sama sekali.

Kalau kita ingin mendudukkan di kelas, ia masih dalam kelas bocah macan. Tapi jangan sebut-sebut di dekat dia, karena dia bisa mengamuk, mencak-mencak, atau mencakar-cakar. Padahal, hasil cakarannyapun tak bisa dibanggakan, karena tidak lebih bermutu dibanding cakaran kambing yang banyak terlahir sebagai skripsi dan tesis di perguruan linggi.

Tapi setiap yang arif dan bijak, pasti akan tersenyum melihat ia tetap bersemangat, bahkan meraung-raung dari nagari ke nagari. Bahkan di tengah hadirin yang lebih suka manggut-manggut dan tiduran di ruang sidang.

Tapi semua itu wajar, karena kelas itulah cuma yang mau mengakuinya sebagai macan betulan, bahkan sering mengundangnya. Jadi dapat dibayangkan, betapa tak berartinya gigitan-gigitan mereka. Kasihan!

Tapi adalagi yang khas miliknya 'si bocah macan' yang bisa juga kita lihat dalam pesta ini. Yaitu bocah macan yang masih belum tumbuh ekornya; macan pontong. Sesungguhnya macan ini lebih pantas untuk dikasihani. Apalagi bila ia berada dalam suatu seminar atau diskusi.

Anda tentu paham apa tungsi ekor, yaitu untuk menjaga keseimbangan bila berjalan. Karena tidak punya ekor, tentulah ia akan seruduk sana, seruduk sini dalam kiprah yang tak beralamat.

Bayangkan kalau para macan pontong dan macan ompong ini berkumpul. Pesta gigit-gigitan dan kejar-kejaranpun tak dapat dihindari.

Anda bayangkan, bagaimana macan ompong saling gigit-gigitan, dan macan pontong saling kejar-kejaran? Tentu alangkah mengasyikkan. Sekaligus sangat menyedihkan. Apalagi kalau mereka itu duduk dengan pongahnya di kursi-kursi parlemen dan pemerintahan.

(Skh. Singgalang 1984, Rakyat Mandiri No 004 Th I 28 April 2002)

Sabtu, Januari 23

Negeri Orang-orang Bodoh

Oleh : Yulfian Azrial/Rakyat Mandiri

INI adalah kisah di negeri orang-orang bodoh. Dapat dibayangkan apa yang terjadi di negeri tersebut. Setiap hari selalu saja dimeriahkan oleh pertandingan "unjuk kebodohan".

Masing-masing berlomba untuk mendapatkan predikat orang yang paling bodoh. Tidak hanya di kalangan rakyat biasa, tetapi terlebih lagi di kalangan pejabat dan aparat.
Tentu saja dalam pertandingan unjuk kebodohan itu, aturan-aturan yang berlaku tidaklah terlalu menjadi perlu dipatuhi.

Tetapi, bukan berarti mereka tidak peduli dengan peraturan. Buktinya, mereka terus saja memproduksi aturan dan berbagai peraturan, terutama yang dapat meningkatkan kebodohan.

Bahkan saking berjangkitnya kebodohan, mereka mengukur kinerja dengan berapa banyak aturan yang bisa dibuat. Sehingga masyarakat makin bodoh dan gampang dibodoh-bodohi.

Pendeknya, hampir di segala lapisan mereka saling berlomba untuk memperbodoh keadaan, sehingga kebanyakan mereka terbiasa untuk menjadi masabodoh dengan berbagai keadaan. Termasuk masa bodoh dengan masyarakat yang menjadikan maka tontonan.

Tampaknya semangat mereka untuk menjadi orang yang benarbenar bodoh sudah tak bisa ditawar-tawar lagi. Sehingga bila perlu mereka menghalalkan segala cara, yang terpenting target mereka untuk menjadi orang yang paling bodoh tercapai. Bila perlu mengangkat orang yang paling bodoh untuk memimpin mereka.

Maka terjadilah berbagai kolusi, korupsi dan manipulasi. Karena sebagai orang bodoh tentu adalah aib bagi mereka kalau mau memahami bahwa esensinya semua itu justru bakal menghancurkan dan merugikan dirinya. Pendeknya, tanpa kolusi, korupsi dan manipulasi mereka merasa menjadi tak berarti.

Tampaknya kita memang harus maklum, kalau mereka harus mati-matian untuk memperjuangkan kebodohan mereka.Bahkan mereka membentuk tim kerja dari orang-orang bodoh.

Namun sesuai dengan perjalanan waktu hubungan mereka juga bisa retak, bahkan malah karena kebodohannya setelah itu mereka berseberangan, karena harus berebut pendukung untuk mengakui bahwa dialah orang yang paling bodoh di antara orang-orang bodoh.

Hujat menghujatpun biasa terjadi. Bahkan sampai melakukan aneka rekayasa. Masing-masing mencari dukungan agar mau mengakui merekalah yang paling bodoh. Bahkan, karena bodohnya mereka malah mau membayar untuk itu.

Adu kebodohan hampir berlangsung di setiap hari, dan hampir di segala lini; Hampir di segala sektor. Akibatnya kebodohan itu akhirnya benar-benar telah menjadi trend, menjadi mode di mana-mana. Bahkan wartawan tak mau ketinggalan. Di berbagai media cetak dan media eletronik ikut berlomba-lomba memasyarakatkan kebodohan dan memperbodoh masyarakat.

Sangat wajar, kalau akhirnya di negeri itu memang hanya orang-orang bodohlah yang mendapat tempat. Mereka menjadi orang-orang terkenal. Menjadi pejabat dan aparat. Bahkan untuk kepentingan kebodohan itulah mereka menduduki berbagai jabatan dan keparatan itu.

Dapat dibayangkan. Bila pejabat dan aparatnya saja telah demikian bangganya dengan kebodohan, dapat dibayangkan bagaimana pula bodohnya orang-orang ang memilih mereka.

Bahkan saking berkuasanya dinasti orang-orang bodoh itu, maka kata-kata orang bijak menjadi asing dan aneh. Bahkan tak sedikit di negeri itu orang-orang yang berlagak bijak yang mendapat teror, ancaman, bahkan diburu-buru dan dikucilkan. Konon pula nasib orangorang yang benar-benar bijak. (RM)

Jumat, Januari 22

Mencangkul di Punggung Petani

Oleh : Yulfian Azrial / Koran Lapau

PERNAH kudengar pantun berbunyi:
“musim hujan/petani bersukaria/
menanam padi, mengharap hasilnya/
untuk anak isteri,”
yang dinyanyikan ketika mereka menyebar benih di sawah
Bersukaria? Tentu saja jika hujan tak menjadi banjir,
para pengijon tidak mondar-mandir,
dan kredit tidak mencekik leher
Tapi kini, nyanyian itu nampaknya tak pernah terdengar lagi
Lenyap entah ke mana. Para petani bekerja dengan
Diam, diam, dan diam.
Adakah yang bisa menjawabnya, mengapa?


Syair di atas adalah sajak seorang teman yang dimuat di sebuah majalah ibukota di Zaman tahun 1983. Lebih dari dua puluh tahun silam. Merisaukan memang kondisi petani kita saat itu.

“Tapi, memang harus ada yang mau berkorban,” ujar seorang teman menanggapi fenomena ini ketika itu. Kenapa? Karena saat itu kita bertekad untuk mencapai swasembada pangan.

Maka petanipun, sejak itu dikorbankanlah nasib petani. Suka-tidak suka mereka harus menyediakan punggung mereka untuk jadi tempat berladang bagi seluruh rakyat Indonesia. Rezeki-rezeki yang seharusnya dinikmati petani, harus dibagi habis sekadar untuk meuwujudkan delapan jalur pemerataan.

Tampaknya punggung petani benar-benar lahan yang sangat subur, bahkan lebih subur dari sawah-sawah dan ladang yang mereka garap. Berbagai pabrik dan teknologi pertanian dikembangkan. Bahkan panen padai yang biasanya hanya satu kali setahun, kini bisa meningkat jadi dua, tiga, bahkan empat kali setahun.

Perekonomian Indonesia yang menjadikan darah serta keringat petani sebagai bahan bakarnya semakin melaju. Sampai akhirnya perjuangan kaum petani itu berhasil. Di tahun 1984, Soeharto yang menjadi presiden waktu itu mencanangkan Indonesia sudah Swasembada Pangan.

Menakjubkan memang. Menecengangkan! Tidak hanya mencengangkan masyarakat Indonesia. Tapi masyarakat seantero duniapun takjub dengan keberhasilan itu.

Apalagi selain pangan, agrobisnis lainnya juga berkembang. Bahkan sektor agro industripun terus berkembang. Malah berbagai pabrik pupuk, pestisida, dan berbagai kegiatan agro industri berhasil memproduksi pula konglomerat-konglomerat baru atau setidaknya mempertebal kocek sejumlah konglomerat dan birokrat komprador.

Hanya ironisnya, kehidupan para petani tak banyak berubah. Terutama karena target swasembada juga diiringi kebijakan ketat pemerintah dalam mengatur harga produksi pertanian, terutama beras. Maka ketika pada komoditi ekonomi lain diberlakukan mekanisme pasar, namun pada gabah dan beras harga dipatok oleh kebijakan pemerintah. Sehingga punggung petani harus terkelupas; bersimbah darah, tanah, nanah, dan peluh.

Meski panen berlipat, nasib mereka tetap tak berubah. Melarat! Yang miskin makin miskin, yang kaya bertambah kaya. Yang bertambah kaya adalah para tengkulak, pengijon, para mafia industri pertanian yang menjepit petani dari hulu dan hilir.

“Padahal pertanian itu adalah dari hulu hingga ke hilir. Namun pemerintah tak pernah memberi mereka bekal untuk menguasai itu. Sehingga petani kita ditumbuhkan bukan menjadi subjek, tetapi menjadi objek bagi bisnis para mafia pertanian dan birokrat komprador,” ujar Ir.Setya Dharma, M.Si. Direktur Politani Universitas Andalas di Tanjung Pati kepada Koran LAPAU.

Tampaknya kemakmuran memang lebih sering membuat orang lupa. Pengorbanan petani yang semula dirancang hanya untuk sementara, ternyata berlanjut, bahkan hingga kini; hingga genderang reformasi telah ditabuh bertalu-talu.

Hingar-bingar teriakan reformasi justeru semakin membuat suara jerit petani kita hilang ditelan gelombang kehidupan. Kemiskinan petani telah menjadi hal yang biasa. Sehingga jangan berpikir saat ini ada anak Indonesia yang dengan gagah berkata-
kata,”Kelak saya akan jadi petani,” Ketakpedulian pada petani tergambar

jelas pada banyak praktek kehidupan kita. Ambil contoh perbandingan harga jual tanah perumahan dan tanah sawah. Kenapa tanah perumahan saat ini jauh lebih mahal ketimbang tanah sawah? Padahal tidak mudah mencari tanah yang bisa dijadikan sawah. Tetapi begitu mudahnya saat ini menjadikan tanah sawah untuk tanah perumahan.

Begitu tak lagi peduli pada keadilan. Demi uang recehan, begitu mudahnya para bupati dan walikota kita mengeluarkan Surat Izin mendirikan bangunan di atas lahan sawah yang dengan begitu susah payahnya dicancang lateh para nenek moyang.

Begitu pula nasib petani kita. Mungkin terlalu enak berladang di punggung mereka? Sehingga begitu teganya untuk terus mencangkuli punggung mereka, sambil tertawa jumawa.(YA).

MENGUNYAH-NGUNYAH PANCING

Oleh : Yulfian Azrial / Infonomica


"PLUUNG... !" sebuah benda dijatuhkan ke dalam sebuah telaga. Ikan penghuni telaga terkejut. Tapi ada aroma yang merangsang, meraka tak jadi lari. Ada yang menyintuh dengan bibirnya.
"Ai nikmat.... nikmat !" serunya. Yang lain datang berkerumun, berebut kesempatan.

Ikan-ikan terkejut. Tapi ia dengarkan juga cerita si Tua.
"Itulah yang bernama pancing anak-anakku yang sejak dulu selalu membuat celaka kaum kita.
Di ujungnya memang ditaruh makanan yang meransang selera. Tapi di dalamnya tersembunyi logam tajam yang berkait. Bila termakan terkaitlah kita. Tak bisa lepas hingga kita diangkat ke alam lain.

Di alam itu menunggu makhluk buas dan teramat kejam yang bernama manusia. la tak segansegan mumukul, menusuk, memotong-motong tubuh dengan pisau dan parang. Luka-luka yang menganga itu ditetesi asam bercampur garam.
Sakit dan perih yang tak terperi. Membuat tubuh merejang dan menggelepar.

Tidak sampai di situ.
Manusia itu akan membawa kita mendekati sebuah kuali yang berisi minyak mendidih. Di bawahnya berkobar api yang menyala-nyala. Kadang kita ada yang ditusuk lalu dimasukkan ke api itu. Ada yang dimasukkan ke dalam kuali yang panas bagai cairan logam.

Bagai menatap mimpi yang sebenarnya. Lolong yang tak dapat dilukiskan. Serak dan ngeri! Kita tak bisa membebaskan diri lagi." demikian Man Tua itu bercerita.

Ada yang serius mendengarkan. Tapi banyak juga yang tak yakin.
Apalagi yang sempat agak lama menikmati makanan di ujung pancing itu. Petuah Ikan Tua tak dihiraukan lagi.

Lalu apa yang terjadi selanjutnya. Beberapa di antara mereka benar-benar menghadapi kenyataan. Cerita ikan tua benar terjadi.

Ketika siksaan dan kenistaan itu merajam, Ikan-ikan itu memekik, berteriak minta ampun. Penyesalanpun datang. Nasehat Ikan Tua ternyata tak sekedar kabar pertakut belaka.

Ingin rasanya kembali ke dalam telaga. Mengabarkan agar jangan ada lagi yang sampai terjebak. Tapi harapan tinggal harapan. Waktu tak bisa berlalu surut. Hidup tak mengenal siaran tunda.

Apabila makanan di ujung pancing diibaratkan pada sebuah nafsu, dan pancing sebagai dosa manusia, maka nasehat ikan Tua adalah ajaran Islam yang telah teruji kebenarannya.

Dalam Islam, bahkan diajarkan, bagaimana menikmati umpan tanpa menjadi korban pancing. Dan Islam memang ditegaskan, bahwa yang namanya pancing selalu akan menyeret ke alam kenistaan yang penuh siksa dan derita.

Apabila alam itu diibaratkan pada alam kubur, maka tungku penggorengan tentulah perumpamaan siksaan api neraka. Ikan yang kena pancing pastilah akan tiba di penggorengan, seperti manusia berdosa yang pasti diterjunkan ke neraka.

Seperti umpan, kulit dari dosa itu selalu saja nikmat dan meransang selera. Seperti juga buah larangan yang dimakan Adam dan Hawa.

Puji Tuhan yang menurunkan ajaran ISLAM sejak nabi Adam, Ibrahim, Musa, Daud, baginda Isa Al Masih dan Rasulullah Muhammad SAW. Allah SWT telah pahatkan petunjuk kebenaran dalam Taurat, Zabur, Injil dan Al Qur'an untuk satu-satunya agama Allah.

Dan Allah tak pernah memaksa. Karena kebenaran ISLAM memang hanya bisa dirasakan bagi yang berpikir dengan akal merdeka. Akal merdeka seperti yang dimiliki Iman Al Ghazali, seperti Ibnu Sina, Al Djabar, Ibnu Ruusy, Galileo Galilei yang mjengikuti ajaran Islam dan menyatakan bahwa bumilah yang mengelilingi matahari pada Paus di Vatikan. Seperti Abul 'Ala Maduddi, seperti akal merdeka Niel Amstrong, Muhammad Ali dan seperti Roger Groudy, dll.

Karena Islam memang menyuruh kita berpikir ilmiah, Bahkan merdeka berpikir untuk memeriksa kebenaran ajaranNya.

Seperti memeriksa kebenaran bahwa pancing selalu saja akan mencelakakan ikan-ikan, yang akan menggiringnya ke penggorengan atau ke tungku api. Kebenaran itu sebenarnya telah banyak yang merasakan. Tapi masih ada saja ada nafsu yang menyuruh berdalih. Bahkan meremehkan.

Seakan ia mampu menghindari kematian, yang bisa saja menjemput setiap waktu. Seakan bisa mengatasi siksa kubur dan neraka yang pasti akan dijalaninya. Padahal, sekadar untuk memasang lagi gigi yang tanggal, mereka tidaklah mampu.... (Infonomica)